Sebuah Tuduhan Konyol bernama SANTRI GOOGLE !!!



Mari awali tulisan ini dengan sebuah dialog yang saya sadur dari kisah nyata:
A: “Apakah kamu tahu bahwa tidak semua ghibah itu dosa? Ada juga yang halal, lho.”
B: “Masa, sih? Apa dalilnya?”
A: “Coba cari aja di Google.”
B: “GOOGLE? Jadi selama ini kamu belajar hanya dari Google? Ternyata kamu Santri Google, ya? Hehehe, belajar kok cuma dari Google! Banyak informasi enggak bener dan enggak jelas tuh, di sana. Kalau belajar yang benar tuh, langsung sama ulama yang berkompeten, yang ilmu agamanya jelas dan benar! Belajar kok cuma dari Google! Parah banget, lu!”
* * *
Selama saya aktif di dunia maya, pembicaraan seperti di atas sangat sering terjadi. Bahkan saya termasuk orang yang sering dituduh sebagai Santri Google. Belajar agama hanya dari Google.
Menurut saya, tuduhan seperti itu sangatlah konyol. Sangat menggelikan. Sebab itu tuduhan yang sangat salah kaprah. Kenapa? Berikut saya jelaskan:

SATU:

“Mencari di Google” itu konteksnya dalam rangka mencari informasi, BUKAN dalam konteks menimba ilmu.
Memang sih, mencari informasi juga bagian dari menimba ilmu. Tapi saya yakin Anda juga paham bahwa MENIMBA ILMU sangat luas cakupannya. MENCARI INFORMASI hanyalah secuil kecil aktivitas dari menimba ilmu.
Jadi jika A menyuruh B mencari informasi, lantas B mengartikannya sebagai menimba ilmu, tentu ada yang salah kaprah dan tidak nyambung, bukan?

DUA:

Pembicaraan di atas terjadi di DUNIA MAYA. Si A mungkin tinggal di Los Angeles, sedangkan si B di New Delhi. Tak mungkin di tengah obrolan itu, si A menyerahkan sebuah buku kepada si B, sebagai referensi mengenai dalil yang ditanyakan.
Karena obrolan di dunia maya, tentu mereka menginginkan kepraktisan. Sebab jika menyuruh si B membaca buku tertentu, pasti proses untuk mencari dan membacanya butuh waktu lama. Mungkin harus beli dulu di toko buku. Mungkin harus beli secara online, dan butuh tiga hari agar bukunya tiba di alamat si B.
Jika A menyuruh B untuk bertanya pada seorang ulama, tentu butuh waktu dan perjuangan yang tidak sebentar agar dia bisa bertemu dengan si ulama.
Beda halnya ketika A menyuruh B mencari di Google. Caranya sangat praktis, mudah, nyaman, dan hasilnya bisa didapatkan dalam SEKETIKA.
Dengan demikian, pembicaraan antara A dengan B pun bisa berlangsung dengan lancar. Coba kalau B harus beli buku dulu, harus janjian ketemu dulu dengan si ulama, maka bagaimana nasib obrolan mereka? Silahkan BAYANGKAN sendiri, ya :-)
Intinya, suruhan untuk mencari di Google adalah untuk alasan kepraktisan saja. Jadi tak perlulah terlalu LEBAY mengartikannya sebagai menimba ilmu, lantas orang yang menyuruh tersebut dituduh Santri Google.

TIGA:

Google adalah mesin pencari. Jadi jika dianalogikan pada dunia offline, dia bukan ulama, bukan ustadz, bukan kiyai. Dia hanya semacam navigasi, tempat kita bertanya, “Di mana ya, saya bisa menemukan artikel yang berisi petuah-petuah terbaik dari ulama yang saya hormati?”
Lantas Google pun memberikan jawaban.
Hasil pencarian Google bisa macam-macam. Ada yang berkualitas tinggi, ada yang kacangan. Ada yang terpercaya, ada yang hoax, ada yang penipuan, ada yang hanya gurauan semata. Kita sebagai SI PENCARI tentu punya pikiran dan kecerdasan untuk memilah-milah, mana informasi yang pantas untuk kita percayai dan dijadikan bahan rujukan.

EMPAT:

Saat si B berkata, “Belajar tuh dari ulama, bukan dari Google!”, mungkin dia belum sadar bahwa banyak hasil pencarian di Google yang justru mengarah kepada artikel-artikel yang ditulis oleh ulama ternama dan terpercaya. Jadi jika A menyuruh dia belajar kepada ulama C misalnya, lantas B menemukan – lewat Google – artikel yang ditulis oleh ulama C, maka apa bedanya? Bukankah membaca artikel karya Ulama C merupakan bagian dari proses menimba ilmu kepada beliau?
Jika misalnya setelah membaca artikel tersebut, B belum puas, lantas berniat untuk bertemu dengan ulama C agar bisa bertemu langsung dengannya, tentu itu sangat mungkin dilakukan.
Intinya, menyuruh mencari di Google sama sekali BUKAN mengandung arti bahwa kita hanya perlu belajar lewat Google, tak perlu belajar di tempat lain.

LIMA:

Saat si B berkata, “Belajar kok cuma dari Google!” sebenarnya TANPA SADAR dia sedang berburuk sangka. Sebab dia membuat tuduhan yang belum tentu benar. Padahal bukankah berburuk sangka sangat dilarang dalam Islam?
Saat si A menyuruh B mencari di Google, apakah B tahu bahwa selama ini A rutin belajar pada ulama tertentu? Apakah B tahu bahwa A punya kelompok pengajian, dan dia justru menjadi ustadz di sana? Apa B tahu bahwa A ternyata sudah bergabung dengan tarbiyah dan seminggu sekali ikut pengajian bersama murobi-nya? Apakah B tahu bahwa si A ternyata rajin membaca buku-buku agama yang ditulis oleh para ulama ternama?
Si B pasti tidak tahu semua itu, karena dia tidak kenal secara pribadi dengan A. Selama ini mereka hanya ngobrol di dunia maya. Namun B dengan seenaknya menuduh A “hanya belajar agama dari Google”. Bukankah itu tuduhan yang berbau buruk sangka?

ENAM:

Hal paling konyol adalah:
Ketika ada orang yang meminta informasi tertentu pada si B, biasanya dia juga mencari di Google. Jadi si B ini sebenarnya tipe manusia “munafik”. Mengejek Google, padahal dia juga butuh, padahal dia juga sering terbantu oleh Google :-D
* * *
NB: Memang, yang paling ideal adalah ketika si A ditanya seperti di atas, dia langsung memberikan jawaban berupa dalil, penjelasan, dan sebagainya. Bukan menyuruh mencari di Google. Namun jika karena alasan-alasan tertentu dia menyuruh B mencari di Google, maka tentu sangat konyol jika si B langsung menuduh seperti itu.
Jadi jika Anda termasuk orang seperti si B, saran saya BERTAUBATLAH!
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan alhamdulillah jika bisa mengubah pola pikir kita semua, termasuk saya.
Terima kasih, maaf bila ada yang tak berkenan, salam sukses selalu!
Jonru