...Lalu, terjadilah peristiwa G 30 S PKI. Berbagai intrik politik yang terjadi sebelum dan setelah peristiwa itu, dapat dibaca di berbagai buku. Berbagai bukti disodorkan oleh buku-buku ini terkait keterlibatan CIA, yang menunjukkan bahwa target utama operasi G 30 S adalah penggulingan Sukarno dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan AS.
Pro-kontra atas catatan sejarah ini tentu sah-sah saja. Namun, siapapun yang melakukannya, dari pihak manapun korbannya, kenyataannya, ada ratusan ribu anak bangsa yang tewas, baik sebelum G 30 S maupun setelahnya. Inilah perang saudara di Indonesia, yang berawal dari pro-kontra ideologi. Bisa dibayangkan, dalam carut-marut konflik dan perseteruan di antara sesama anak bangsa; di tengah dendam, rasa sakit, kehilangan, dan duka cita, ada hal-hal sangat penting yang terabaikan dari perhatian publik. Di antaranya, segera setelah Sukarno diturunkan dari kekuasaan dan Suharto menjadi presiden, terjadi ‘perampokan’ besar-besaran terhadap kekayaan alam Indonesia.
‘Perampokan’ itu terjadi tahun 1967. John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World” menulis sebagai berikut.
"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top.
Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. “Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler,” kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. “Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”
.... ....
Dan Indonesia hari ini pun masih belum ‘aman’ dari praktik kolonialisme modern ini. Kekayaan alam Indonesia masih sangat banyak dan masih jadi incaran. Apalagi sebuah lembaga think tank AS bernama Rand Corporation, yang merupakan partner Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon), pada tahun 1998 merilis sebuah paper yang merekomendasikan bahwa Indonesia perlu dipecah menjadi 8 bagian, yaitu Timor Timur (yang sudah ‘berhasil’ diwujudkan tahun 1999), Aceh, Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, dan Bali. Sisanya, tetap menjadi bagian Indonesia.
Dan cara yang paling efektif untuk memecah-belah Indonesia sesuai skenario itu, tentu saja, melalui perang saudara. Triggers atau pemicu konflik yang digunakan bisa beragam. Belajar dari kasus Suriah, konflik ideologis Sunni-Syiah ternyata sangat ampuh digunakan sebagai pemicu konflik bersenjata yang mengerikan. Indonesia mirip dengan Suriah dari sisi bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam dan memiliki penduduk yang beragam etnis, agama, dan mazhab. Inilah yang sangat penting diwaspadai oleh bangsa Indonesia.
(dikutip dari buku Prahara Suriah, karya Dina Y. Sulaeman, 2013)
Foto: Penandatangan Kontrak Karya Freeport 7 April 1967 (sumber foto: The Netherlands National Press Agency, saya ambil dari wall Johny Budiyono)